KSA dan Data Pangan
Perbincangan mengenai “beras” mendadak menjadi
trending topik. Rencana kebijakan pemerintah membuka keran impor disaat
pencapaian swasembada, jelas akan menuai kontroversi.
Terlebih di momen menjelang kontes tahun politik
terkait Pilkada 2019 yang sudah memasuki masa persiapan dan kampanye.
Swasembada akan tetapi impor, bagaimana bisa?
Swasembada beras adalah salah satu cita-cita Negara
Indonesia sebagai agraris dengan lebih dari 80% penduduknya berdasarkan data Badan
Pusat Statistik (BPS) mengandalkan beras sebagai sumber bahan makanan pokok
sehari-hari.
Jika target swasembada terpenuhi, artinya Indonesia
mengalami surplus stok pangan yang berlimpah, dan lebih jauh hal ini
menyiratkan sebuah prestasi dalam hal ketahanan pangan.
Sayangnya agenda ini masih memiliki banyak kendala,
selain menghadapi masa depan pertanian yang suram karena kurangnya regenerasi
petani muda dan kehidupan petani yang tak kunjung sejahtera.
Permasalahan lain yang seringkali menjadi bahan
perdebatan adalah mengenai data tanaman pangan yang dinilai tidak akurat. Klaim
pemerintah yang menyatakan stok beras surplus dan berlimpah, tak setali tiga
uang dengan kondisi pasar.
Kenyataannya awal tahun ini stok beras langka, dan
harga terus menanjak naik. Untuk itu, pemerintah bersiasat dengan rencana impor
beras.
Jika menilik sejarah kebijakan terkait beras, langkah
pemerintah melakukan impor beras dengan kondisi swasembada bukanlah sesuatu
yang baru. Pada tahun 2012 misalnya, pada saat itu Indonesia telah mencapai
swasembada beras dengan jumlah surplus beras sekitar 34 juta pon dari kebutuhan
konsumsi beras nasional 3.303,5 juta ton.
Tetapi pemerintah tetap membuka keran impor dari
Negara Vietnam sebesar 0,5 juta ton dan beberapa Negara lain dengan dalih
ketahanan pangan dan mengurangi spekulasi harga beras di pasaran.
Data BPS mencatat bahwa Indonesia selalu mengimpor
beras dari tahun ke tahun setidaknya sejak tahun 2010 hingga tahun 2017. Dalam
jangka waktu tersebut, Indonesia telah mengimpor sedikitnya 16,89 juta ton
beras. Selanjutnya, akhir bulan Januari 2018 ini pemerintah berencana membuka
keran impor kembali sebanyak 500.000 ton.
Mendapati pro dan kontra terkait kebijakan beras
beberapa waktu ini, Ombudsman Republik Indonesia pada 15 Januari 2018 lalu
memaparkan laporan tentang temuan gejala maladministrasi dalam pengelolaan data
dan impor beras.
Satu hal yang sangat mendasar dalam laporan tersebut
adalah adanya temuan penyampaian informasi stok yang tidak akurat kepada
publik.
Dalam hal ini, Ombudsman mensyinyalir bahwa
Kementrian Pertanian selama ini selalu menyatakan surplus produksi beras dan
kecukupan stok hanya berdasarkan perkiraan luas panen dan produksi gabah tanpa disertai
jumlah dan sebaran stok beras secara riil.
Lebih lanjut, disebutkan bahwa gejala kenaikan harga
sejak akhir tahun 2017 tanpa temuan penimbunan dalam jumlah besar
mengindikasikan kemungkinan proses markup
data produksi dalam model perhitungan yang digunakan selama ini.
Akibat pernyataan surplus yang tidak didukung data
akurat tentang stok beras yang sesungguhnya di masyarakat, pengambilan
keputusan berpotensi keliru.
Untuk diketahui bersama, selama ini data produksi
pangan dihasilkan oleh Kementrian Pertanian (Kementan) bersama dengan Badan
Pusat Statistik (BPS). Kementan menyediakan data luas lahan sementara BPS
melakukan penghitungan melalui survei ubinan untuk kemudian mengukur produktivitas
padi.
Data produktivitas dikumpulkan dengan pengukuran
langsung pada petak sampel yang disebut plot ubinan dengan ukuran 2,5m x 2,5m.
Tanaman pangan seperti padi pada area plot tersebut kemudian dipanen sesuai
kebiasaan petani untuk kemudian ditimbang. Untuk menambah informasi, selain
pengukuran langsung pada petak terpilih juga dilakukan wawancara pada petani
petak terpilih tersebut. Informasi yang dikumpulkan mencakup cara penanaman,
penggunaan pupuk, pengggunaan benih, serangan hama yang digunakan untuk
mengevaluasi hasil pengukuran.
Selama ini keakuratan data luas lahan sawah masih
dipertanyakan karena menggunakan proses pendekatan eye estimate atau pandangan mata.
Metode ini masih dianggap pendekatan terbaik yang
dapat dilakukan namun memiliki sejumlah kelemahan, salah satunya metode ini
dilakukan dengan menggunaka informasi luas baku lahan yang ada, kemudian dengan
memandang hamparan fisik lahan diperkirakan luas tanam, luas panen, atau luas
lainnya. Metode ini seharusnya dilakukan oleh petugas yang ahli dan sangat
mengenal wilayah tugasnya secara fisik, akan tetapi kenyataannya pergantian
petugas di dinas setempat sering dilakukan.
Perlu diketahui hingga tahun 2010, BPS hanya
melakukan survei dengan target estimasi hingga tingkat provinsi. Artinya hingga
tahun 2010 BPS tidak menyediakan data produktivitas maupun produksi dengan
maksud mempersiapkan metode penghitungan yang lebih akurat.
Sepanjang masa itu, BPS melakukan uji coba
pengembangan metode baru yang dinamakan KSA (Kerangka Sampel Area). KSA
merupakan survei berbasis area yang dilakukan dengan pengamatan langsung
terhadap sampel segmen dan bertujuan untuk mengestimasi luas dari sampel ke
populasi dalam periode yang relatif pendek.
Bekerja sama dengan para peneliti Badan Pengkajian
dan Penerapan Teknologi (BPPT), KSA dikembangkan dengan menggunakan teknologi
era digital (HP berbasis android) dengan memanfaatkan citra satelit.
Pendekatan KSA diharapkan mampu menjawab penyediaan
data dan informasi yang akurat dan tepat waktu untuk mendukung perencaan
Program Ketahanan Pangan.
KSA pada prinsipnya membagi habis luas lahan baku
menjadi grid. Grid dibagi habis
menjadi segmen berukuran 300m x 300m, kemudian diambil sampel segmen tiap
Kabupaten/Kota yang akan diamati fasenya dan dilaporkan melalui aplikasi KSA
selama 12 bulan setiap minggu terakhir.
KSA mulai dilaksanakan pada awal tahun ini dengan
obyek komoditas pertanian tanaman pangan khususnya padi. Jika dimungkinkan
kegiatan ini akan diperluas untuk komoditas tanaman pangan lainnya.
Dengan metode ini diharapkan akan mendapatkan data luas
lahan pangan yang lebih berkualitas yang menggambarkan kondisi sesungguhnya.
Dengan data luas lahan pangan yang lebih akurat, tentunya penghitungan produksi
padi menjadi lebih akurat karena luas lahan merupakan salah satu variabel dalam
perhitungan produksi. Penghitungan produksi padi yang lebih akurat tentunya
akan sangat mendukung perencanaan kebijakan dalam pembangunan ketahanan pangan
nasional.
Oleh Bayu Pratama
(Statistisi Pada BPS Kabupaten Pandeglang)
Tulisan ini dimuat di Surat Kabar Radar Banten tanggal 30 November 2018
Tulisan ini dimuat di Surat Kabar Radar Banten tanggal 30 November 2018
Komentar
Posting Komentar