Satu Data Indonesia : Memahami Data Kemiskinan

 

“Melalui Satu Data Indonesia, kita bersama mengentaskan Kemiskinan”

Pemerintah sejak beberapa tahun terakhir telah membangun inisiatif satu data dan disetujui pada tahun 2019 dengan terbentuknya Perpres No. 39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia. Satu Data merupakan rancangan pemerintah untuk mendorong pengambilan kebijakan berdasarkan data dengan tiga prinsip utama (satu standar data, satu metadata baru, dan satu portal data). Inisiatif Satu Data bertujuan untuk memenuhi kebutuhan data yang akurat dan terbuka. Dengan demikian, pemanfaatan data pemerintah tidak hanya terbatas pada penggunaan secara internal antar instansi, tetapi juga sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan data publik masyarakat secara luas.

Satu Data dengan menggunakan prinsip data secara terbuka dalam merilis data dengan tujuan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pemerintah, serta untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mengawal pembangunan. Data yang komprehensif dan berkualitas tentunya akan memudahkan perencanaan pembangunan yang tepat sasaran. Pembangunan yang tepat sasaran akan berdampak pada ketepatan anggaran yang digunakan.

Salah satu tujuan Sustinable Development Goals (SDGs) adalah “mengakhiri kemiskinan dalam segala bentuk dimanapun”. Berbagai kalangan mengkritisi angka kemikinan di Indonesia, kadang menganggap kurang masuk akal. Standar kemiskinan dunia pun disandingkan sebagai bahan perbandingan. Lalu, bagaimana sebenarnya data kemiskinan yang ada di Indonesia saat ini?

Mengentaskan Kemiskinan

Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis angka kemiskinan yang mencapai 10,14 persen pada bulan Maret 2021. Dengan jumlah Penduduk miskin secara nasional sebanyak 27,54 juta jiwa. Jumlah itu menurun 0,01 juta jiwa dibandingkan kondisi September 2020. Kendati demikian, meningkat 1,12 juta jiwa terhadap Maret 2020.

Pandemi covid-19 berdampak signifikan terhadap peningkatan kemiskinan. Pada Maret 2020, Ketika kasus covid-19 pertama di Indonesia terkonfirmasi, persentase penduduk miskin naik 0,56 persen (9,78 persen) terhadap September 2019 (9,22 persen). Selanjutnya, pada September 2020, persentase penduduk miskin kembali mencapai dua digit, yakni 10,19 persen atau sekitar 27,55 juta orang.

Perilaku dan aktivitas ekonomi banyak terhenti lantaran berbagai kebijakan pembatasan oleh pemerintah akibat pandemi yang tidak kunjung usai. Akibatnya, kemiskinan menjadi pandangan sehari-hari.

Perhatian terhadap kemiskinan ini juga ditujukkan oleh para pemimpin dunia. Maka tidak heran tujuan pertama dalam SDGs adalah pengentasan segala bentuk kemiskinan di semua tempat, (wikipedia-Tujuan_Pembangunan_Berkelanjutan). Kemiskinan jelas menempatkan seseorang dalam kondisi terenggut banyak hak sosialnya. Untuk itulah, pengentasan kemiskinan harus terus diupayakan kemandirian.

Pemerintah perlu memperhatikan agar kemiskinan dapat dientaskan. Jika dibiarkan, akan semakin banyak warga yang kelaparan dan menjadi miskin karena pandemi. Memang, kerja pemerintah selama masa pandemi terkait dengan memberikan bantuan kepada masyarakat miskin perlu diapresiasi. Meski begitu, apa yang dilakukan pemerintah itu masih jauh dari kata sempurna. Ada banyak yang belum terealisasi. Hal itu menjadi catatan, selain karut-marutnya data, beberapa anggaran penanganan covid-19 juga dikorupsi para pejabat yang tidak bertanggung jawab.

Pemerintah melakukan gebrakan menyalurkan bantuan kepada masyarakat. Namun, belum dapat diandalkan. Elemen masyarakat sangat dibutuhkan untuk membantu mengentaskan kemiskinan, berkolaborasi dengan pemerintah agar tidak berjalan sendirian. Hal ini setidaknya memberikan pertolongan pertama kepada masyarakat yang terdampak.

Gerakan mengentaskan kemiskinan telah dilakukan pemerintah secara esensial. Hal ini harus dibarengi dengan mendorong partisipasi masyarakat yang lebih besar untuk kegiatan yang dilakukannya sendiri. Dengan demikian, masyarakat berperan penting untuk menggerakkan, membimbing, dan menciptakan suasana yang mendukung kegiatan pembangunan.

Menurut Chamber : 1995, pemberdayaan masyarakat merupakan konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai untuk membangun paradigma baru dalam pembangunan yang bersifat peoplecentered, participatory, empowerment, dan sustainable. Lebih jauh, Chamber menjelaskan bahwa konsep pembangunan dengan model pemberdayaan masyarakat tidak semata-mata hanya memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, tetapi lebih sebagai upaya mencari alternatif pertumbuhan ekonomi lokal.

BPS menyajikan data kemiskinan secara makro yang diperoleh melalui Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan pada bulan Maret dan September. Dalam mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep pemenuhan kebutuhan dasar, baik makanan maupun non-makanan. Metode ini bukan dibuat oleh BPS, melainkan mengacu pada Buku tentang Kemiskinan dan Kesetaraan yang diterbitkan oleh Bank Dunia.

Melalui pendekatan makanan dan non-makanan, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan seseorang dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non-makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Penggunaan pendekatan pengeluaran dengan kebutuhan dasar kalori dan kebutuhan dasar non-makanan sudah lama diadopsi oleh banyak negara berkembang (Sukma Saini-Memaknai Angka Kemiskinan). BPS sendiri mulai menghitung kemiskinan sejak tahun 1976, hingga sekarang metode tersebut masih digunakan.

Kebutuhan dasar makanan diukur berdasarkan jumlah kalori minimum yang dibutuhkan oleh tubuh untuk dapat melakukan aktivitas sehari-hari, yakni 2.100 kilo kalori per kapita per hari. Sementara kebutuhan dasar non-makanan diukur berdasarkan kebutuhan minimun untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Kebutuhan dasar untuk makanan dan non-makanan itu kemudian dikonversi ke dalam rupiah menjadi Garis Kemiskinan (GK). GK mencerminkan nilai rupiah pengeluaran minimum yang diperlukan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya selama sebulan, baik kebutuhan makanan maupun non-makanan. Apabila perngeluaran satu rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum baik dari makanan maupun non-makanan berada di bawah GK, rumah tangga tersebut dikategorikan sebagai rumah tangga miskin.

Setiap daerah memiliki GK masing-masing. Hal ini berarti, penentuan GK tidak dipukul rata semua wilayah di Indonesia. Bahkan untuk daerah perkotaan dan perdesaan juga dibedakan. Hal ini dikarenakan pola konsumsi masyarakat dan harga komoditas tiap wilayah tidak sama.

Baca Garis Kemiskinan Banten

Garis Kemiskinan sering diinterpretasikan keliru oleh banyak kalangan masyarakat. Contoh Garis Kemiskinan Maret 2021 di Provinsi Banten sebesar Rp. 530.363,- per kapita per bulan, diartikan sebagai seseorang memiliki pengeluaran minimal Rp 17.679,- dalam sehari, orang itu tidak tergolong miskin. Misinterpretasi ini membuat GK menjadi tidak masuk akal.

Pada Maret 2021, rata-rata 1 rumah tangga miskin di Banten memiliki 4,98 anggota rumah tangga (ART). Jika 4,98 ART kita kalikan dengan GK Maret 2021, misalnya, maka GK BPS untuk Banten secara rata-rata akan setara dengan Rp 2.641.208,- per rumah tangga per bulan. Untuk mendapatkan sejumlah uang tersebut dalam satu bulan, tentu tidak mudah bagi rumah tangga miskin.

Sebagai gambaran, jika sebuah rumah tangga tinggal di Banten dengan jumlah 5 ART, maka rumah tangga tersebut harus memiliki pengeluaran di atas tiga juta rupiah dalam sebulan agar tidak termasuk penduduk miskin (GK Maret 2021 Banten sebesar Rp 530.363,-).

Bisa dibayangkan untuk memenuhi kebutuhan pokok saja harus berpenghasilan di atas Rp 3 juta sebulan, tentu hal ini tidak mudah bagi masyarakat  dengan ekonomi menengah kebawah. Meskipun garis kemiskinan itu selalu ditujukan per kapita, namun membaca dengan perspektif demikian tentu akan lebih mudah.

Mengakhiri Kemiskinan bersama

Perlu kita sadari bahwa kemiskinan adalah masalah bersama yang semestinya kita akhiri. Saling mendukung antara pemerintah dengan pihak terkait serta memberikan kontribusi sesuai perannya masing-masing sangat diperlukan untuk memperbaiki keadaan. Memberantas kemiskinan multidimensional ini harus menjadi niat tulus kita semua, sehingga pikiran dan tindakan yang diambil memang karena kepedulian untuk mengakhiri, terlebih dalam kondisi pandemi covid-19.

Bertepatan pada peringatan Hari Statistik Nasional yang jatuh pada tanggal 26 September tahun ini menjadi waktu yang tepat bagi kita semua insan statistik BPS untuk dapat menghasilkan data yang berkualitas. Nilai-nilai inti Profesional, Intergritas, dan Amanah yang di dalam diri tentunya akan dapat meningkatkan kinerja dalam melaksanakan tugas pemerintahan pada bidang statistik untuk mendorong terwujudnya visi BPS sebagai Penyedia Data Statistik Berkualitas untuk Indonesia Maju.


Oleh : Bayu Pratama

Statistisi pada BPS Kabupaten Pandeglang

(Opini telat terbit pada Surat kabar Banten POS tanggal 28 September 2021)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup adalah sebuah Perjalanan

Ucapan Terima Kasih