Kemiskinan dan Bencana


“Tujuan pertama dalam SDGs adalah tanpa kemiskinan”
Setiap kepemimpinan pemerintahan selalu mempunyai keinginan untuk mengetaskan kemiskinan. Tetapi, upaya pengentasan kemiskinan memang bukan perkara mudah. Jumlah penduduk miskinpun bersifat dinamis. Seseorang yang tadinya tidak miskin bisa menjadi miskin karena beragam kondisi. Sementara seseorang yang berada dalam kemiskinan cukup sulit untuk keluar dari kemiskinan.

Berbagai program dicanangkan pemerintah pusat maupun daerah bahkan anggaran miliaran pun dicairkan demi usaha menurunkan jumlah penduduk miskin. Dalam kontestasi politik, baik ditingkat kabupaten/kota hingga level nasional, kemiskinan juga sering dijadikan komoditas kampanye sekaligus mengkritik pemimpin yang saat itu sedang berkuasa.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kemiskinan merupakan situasi penduduk atau sebagian penduduk yang hanya dapat memenuhi kebutuhan makanan, pakaian, dan perumahan yang sangat diperlukan untuk mempertahankan tingkat kehidupan yang minimum.

Perhatian terhadap kemiskinan ini juga ditujukkan oleh para pemimpin dunia. Maka tidak heran tujuan pertama dalam Sustinable Development Goals (SDGs) adalah pengentasan segala bentuk kemiskinan di semua tempat, (wikipedia-Tujuan_Pembangunan_Berkelanjutan). Kemiskinan jelas menempatkan seseorang dalam kondisi terenggut banyak hak sosialnya. Untuk itulah, pengentasan kemiskinan harus terus diupayakan kemandirian.

Data kemiskinan secara makro disajikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) yang diperoleh melalui Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan pada bulan Maret dan September. Konsep kemiskinan yang digunakan BPS mengacu pada konsep pemenuhan kebutuhan dasar, baik makanan maupun nonmakanan. Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan seseorang dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan nonmakanan yang diukur dari sisi pengeluaran. “Penggunaan pendekatan pengeluaran dengan kebutuhan dasar kalori dan kebutuhan dasar nonmakanan sudah lama diadopsi oleh banyak negara” (Sukma Saini-Memaknai Angka Kemiskinan). Kebutuhan dasar makanan diukur berdasarkan jumlah kalori minimum yang dibutuhkan oleh tubuh untuk dapat beraktivitas sehari-hari, yakni 2.100 kkal per orang per hari. Sementara kebutuhan dasar nonmakanan diukur berdasarkan kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Kebutuhan dasar untuk makanan dan nonmakanan itu kemudian dikonversi ke dalam rupiah menjadi Garis Kemiskinan (GK). Apabila pengeluaran satu rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum baik dari makanan maupun nonmakanan berada di bawah GK, rumah tangga tersebut dikategorikan sebagai rumah tangga miskin.

Berdasarkan data yang telah dirilis pada 15 Januari 2019 oleh BPS Provinsi Banten melalui Berita Resmi Statistik (BRS), jumlah penduduk miskin Provinsi Banten kondisi September 2019 sebesar 641,42 ribu jiwa atau 4,94% dari total penduduk. Hasil ini mengalami penurunan 0,15 poin dibanding periode Maret 2019 yang sebesar 5,09% dengan jumlah penduduk miskin 654,46 ribu jiwa. Menurut Undang Undang No 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas), penyebab kemiskinan berdasarkan kedalamannya dibedakan menjadi dua, yaitu kemiskinan kronis (chronic poverty) atau kemisinan struktural yang terjadi terus menerus, dan kemiskinan sementara (transient poverty). Kemiskinan kronis disebabkan oleh beberapa hal, pertama, sikap dan kebiasaan hidup masyarakat yang tidak produtif, kedua, keterbatasan sumber daya, ketiga, rendahnya tingkat pendidikan dan derajat kesehatan, terbatasnya lapangan kerja, dan ketidakberdayaan masyarakat.

Sedangkan kemiskinan sementara juga disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, perubahan siklus ekonomi dari kondisi normal menjadi krisis ekonomi. Kedua, perubahan yang bersifat musiman seperti kemiskinan nelayan dan pertanian tanaman pangan. Ketiga, bencana alam atau dampak dari suatu kebijakan.

Keterkaitan Bencana dengan Kemiskinan
Bencana alam merupakan kondisi yang tidak diharapkan, tetapi manusia juga memiliki andil terhadap semakin buruknya bencana yang terjadi. Ulah manusia yang terus mengeruk sumber daya alam (SDA) dan berbagai kegiatan destruktif lainnya menyebabkan terganggunya ekosistem, sehingga menimbulkan bencana atau mempengaruhi dampak suatu bencana yang terjadi.

Menurut United Nations Secretariat for International Strategy for Disaster Reduction (UNISDR), sebuah badan PBB untuk strategi Internasional pengurangan risiko bencana. Indonesia merupakan salah satu negara yang paling rawan bencana di dunia” (Douglas Broderick-Media Indonesia) . Berita bencana alam pun kembali kita dengar pada awal tahun 2020, bencana banjir dan tanah longsor yang terjadi utamanya di pulau jawa. Bencana alam yang terjadi memiliki banyak dampak terhadap korban, berupa kehilangan harta benda, aset produksi, pekerjaan, hingga kehilangan nyawa. Semua dampak akibat bencana berujung pada kondisi yang membuat masyarakat korban bencana menjadi lebih miskin. Dapat dibayangkan bagaimana nasib keluarga yang sebelum terjadi bencana memang sudah miskin? Tentu dengan terjadi bencana membuat keluarga tersebut semakin terlempar kedalam jurang kemiskinan yang semakin dalam.

Bencana dan kemiskinan pada dasarnya merupakan dua hal yang tidak berkaitan, tetapi pada kenyataannya antara kemiskinan dan bencana memiliki hubungan sebab-akibat yang berlaku dua arah. Bencana jelas menyebabkan kemiskinan seperti uraian di atas, demikian juga sebaliknya, kemiskinan bisa menjadi penyebab terjadi bencana. Kemiskinan seringkali menyebabkan seseorang tidak memiliki banyak pilihan, sehingga melegalkan banyak cara untuk bertahan hidup. Banyak penduduk miskin yang masih bertahan untuk tinggal di bantaran sungai sehingga mengurangi daerah resapan air yang berpotensi menimbulkan banjir. Ditambah banyak penduduk miskin yang tinggal di lereng perbukitan dan mengusahakan tanaman musiman sebagai mata pencaharian, padahal seharusnya perbukitan ditanami dengan tanaman yang mampu menahan air bukan malah tanaman semusim yang menyebabkan tempat tinggal mereka menjadi lebih rawan terhadap bencana.

Lebih umum, kemiskinan membuat banyak penduduk miskin kembali mendiami tempat tinggal mereka setelah bencana berlalu, karena mereka tidak memiliki pilihan lain sehingga kemungkinan bencana yang serupa kembali terulang. Setelah ini untuk melanjutkan hidup mereka juga harus kembali berjuang dari awal untuk membangun tempat usaha yang telah terenggut, biasanya melalui utang. Hal ini tentu saja semakin memiskinkan penduduk korban bencana karena harus menanggung utang beserta beban bunganya.

Selama ini pemerintah dan masyarakat memang cukup tanggap terhadap kondisi darurat bencana, namun seharusnya campur tangan pemerintah tidak cukup hanya sampai disitu. Seperti yang telah diberitakan pada awal tahun 2019 yang lalu bahwa bencana alam merupakan penyebab kemiskinan sementara, tetapi pada kenyataannya bencana mampu menciptakan kemiskinan yang sifatnya terus berlanjut.

Pemerintah juga meperhatikan kondisi penduduk yang menjadi korban setelah bencana terjadi dengan mengupayakan pembangunan kembali tempat usaha mereka atau menciptakan lapangan pekerjaan baru untuk penduduk yang tadinya berprofesi sebagai buruh atau pekerja. Dengan demikian, bencana yang terjadi tidak menciptakan kemiskinan baru atau memperdalam kemiskinan yang sudah ada, yang menjadi sebab lambatnya proses pengentasan kemiskinan yang selama ini digalakkan.



Oleh : Bayu Pratama
Statistisi BPS Kabupaten Pandeglang

Tulisan ini dimuat di Surat Kabar Banten POS tanggal 5 Februari 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Satu Data Indonesia : Memahami Data Kemiskinan

Kesetaraan Gender

Hidup adalah sebuah Perjalanan